Tragedi terbesar abad digital: kita lebih peduli pada sinyal Wi-Fi yang kuat daripada sinyal hati yang lemah. (Sumber foto: istinewa FB Arda Dinata).
Oleh: Arda Dinata
INSPIRASI INDRAMAYU - "Di zaman dulu, kita mencari kebahagiaan di dalam hati. Sekarang kita mencarinya di dalam kotak kecil bercahaya yang terus-menerus memberitahu kita bahwa kita belum cukup bahagia."
Selamat datang di teater terbesar abad ini. Tanpa tiket masuk. Tanpa antrian. Tanpa jam pertunjukan. Tapi dengan aktor dan penonton yang tak terhitung jumlahnya.
Teater bernama media sosial.
Satu panggung. Milyaran aktor. Milyaran penonton. Sekaligus.
Aneh, bukan?
Tapi begitulah dunia kita sekarang.
Seorang anak muda membuat video menari. Sebuah keluarga mengunggah foto makan malam mewah. Seorang eksekutif memamerkan mobil barunya. Seorang ibu membagikan resep masakan.
Semua pertunjukan. Semua akting.
Layar ponsel menjadi panggung. Kehidupan menjadi skenario. Kebahagiaan menjadi properti.
Menurut survei dari Hootsuite dan We Are Social tahun 2024, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 5 jam 3 menit per hari menatap layar ponselnya. Hampir sepertiga waktu terjaga kita dihabiskan untuk menonton teater digital ini.
Lima jam untuk menatap apa yang orang lain ingin kita lihat. Lima jam untuk melupakan apa yang Allah ingin kita rasakan.
Ironis.
Sangat ironis.
Jurnal Psychological Science melaporkan bahwa 78% pengguna media sosial aktif hanya menampilkan sisi positif kehidupan mereka. Seperti opera sabun yang hanya menayangkan adegan-adegan menyenangkan. Tanpa air mata. Tanpa kegagalan. Tanpa kekecewaan.
Saat berumur sepuluh tahun, ayah saya mengajak saya menonton wayang kulit semalam suntuk. Di bawah langit berbintang. Di atas tikar pandan. Dengan segelas teh hangat.
Saya mengantuk. Tapi ayah berkata, "Nak, lihatlah baik-baik. Wayang ini seperti kehidupan. Yang kita lihat hanyalah bayangan. Yang nyata ada di balik layar."
Dua puluh lima tahun kemudian, kata-kata itu masih terngiang. Terlebih ketika melihat keponakan saya yang berusia 15 tahun menangis karena unggahan fotonya hanya mendapatkan 27 likes.
Ia menangisi bayangan. Bukan kenyataan.
Data dari jurnal Psychology Today menunjukkan bahwa 62% remaja melaporkan merasa tidak adekuat setelah menggunakan media sosial. Merasa tidak cukup tampan. Tidak cukup cantik. Tidak cukup sukses. Tidak cukup bahagia.
Di teater digital ini, semua orang berusaha menjadi bintang. Tapi kebanyakan merasa seperti figuran dalam kehidupan orang lain.
Minggu lalu, saya menghadiri pernikahan sepupu. Setengah dari tamu sibuk mengambil foto untuk Instagram. Mencari sudut terbaik. Mengedit dengan filter terbaik. Menulis caption terbaik.
Seolah momen itu ada untuk media sosial. Bukan sebaliknya.
Seperti menonton film yang aktornya lebih peduli pada kamera daripada pada alur cerita.
Studi dari Harvard Business Review menemukan bahwa kebahagiaan yang didapat dari likes dan komentar di media sosial hanya bertahan selama 5-10 menit. Sementara kebahagiaan dari interaksi nyata dengan orang tercinta bisa bertahan hingga beberapa hari.
Pertukaran yang tidak setara. Sangat tidak setara.
Di dunia nyata, hujan membasahi kulit. Angin menerbangkan rambut. Senyuman orang tua menghangatkan hati. Tawa anak-anak mencerahkan hari.
Allah menciptakan dunia dengan banyak detail. Detail yang tidak bisa ditangkap oleh kamera 108 megapiksel sekalipun.
Tapi kita sibuk dengan dunia digital. Dunia yang dibuat-buat. Dunia yang tidak nyata.
Kita seperti penonton yang terpesona dengan pertunjukan sulap. Padahal kita tahu itu hanya ilusi. Tapi kita pura-pura terkejut. Pura-pura kagum.
Dalam sebuah penelitian dari University of Pennsylvania, peserta yang membatasi penggunaan media sosial menjadi 30 menit per hari melaporkan penurunan signifikan pada tingkat kesepian dan depresi setelah tiga minggu.
Bukankah itu menarik? Semakin kita terhubung secara digital, semakin kita kesepian secara nyata.
Seperti menonton telenovela tentang keluarga bahagia sambil mengabaikan keluarga sendiri di ruangan sebelah.
Kita bisa mengunggah foto sunset yang spektakuler. Tapi apakah kita benar-benar merasakan keindahannya? Kita bisa mem-posting video konser yang meriah. Tapi apakah kita benar-benar menikmati musiknya?
Atau kita terlalu sibuk mencari sudut terbaik untuk Instagram?
Lalu bagaimana? Haruskah kita membuang ponsel? Tentu tidak. Teknologi adalah alat. Bukan tujuan.
Masalahnya adalah ketika kita membiarkan layar ponsel menentukan apa yang penting. Apa yang berharga. Apa yang nyata.
Mungkin sudah waktunya kita bertanya: apakah kita yang menggunakan media sosial? Atau media sosial yang menggunakan kita?
Apakah kita penonton dalam teater kehidupan nyata? Atau figuran dalam drama digital orang lain?
Fokuslah pada apa yang membuat hati tenang. Bukan pada apa yang membuat orang lain terkesan.
Karena pada akhirnya, ketika layar ponsel meredup, yang tersisa hanyalah kenyataan. Dan di dalam kenyataan itulah Allah menaruh pelajaran terbaik untuk kita.
"Tragedi terbesar abad digital: kita lebih peduli pada sinyal Wi-Fi yang kuat daripada sinyal hati yang lemah."
Arda Dinata, Peneliti dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
* * *
Dapatkan Informasi tentang: Dunia INDRAMAYU (wisata, bisnis, budaya, kesehatan, motivasi, wanita, opini, keluarga, dan psikologi) hanya di: https://indramayu.miqraindonesia.com/
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah artikel ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Kelahiran Desa Tempel Kulon Kecamatan Lelea Kabupaten Indramayu, sehari-hari sebagai Penulis Aneka Media Online dan Penulis Buku, serta berprofesi sebagai Sanitarian Ahli & Penanggung Jawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Sekarang Nginep Ning Pangandaran - Jawa Barat.www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education |