Baca Juga
"Keris sejati bukanlah yang terbuat dari besi, tapi yang terbentuk dari keberanian untuk menghadapi cermin diri sendiri." (Sumber foto: Arda Dinata).
Cerpen: Arda Dinata
INSPIRASI - "Keris bukanlah senjata, Nak. Ia adalah cermin jiwa yang memantulkan cahaya atau gelap hati pemiliknya."
Embun pagi masih menggantung di daun jeruk purut ketika Mbah Karso membuka pintu sanggar kecilnya. Asap kemenyan menguar pelan dari sudut ruangan yang gelap, bercampur aroma tembakau dari lintingan rokok jagung yang terselip di bibirnya yang keriput. Sudah tujuh puluh tahun ia menjaga keris Cangkring—warisan Ki Gede Indramayu yang katanya hanya bisa diangkat oleh orang berhati jernih.
"Mbah, saya datang lagi," suara Agus memecah keheningan pagi. Pemuda berusia dua puluh lima tahun itu berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh harap, seperti biasanya setiap Sabtu pagi selama tiga bulan terakhir.
Mbah Karso tidak menoleh. Tangannya yang gemetar menuangkan teh panas ke dalam cangkir keramik yang sudah retak. "Masih belum bisa, Gus. Keris itu belum mau diangkat olehmu."
Agus melangkah masuk, matanya langsung tertuju pada kotak kayu jati di atas meja bundar. Di dalamnya terbaring keris dengan sarung emas bermotif naga yang meliuk. Bilahnya yang berkilau seperti menantang siapa saja yang berani menyentuhnya.
"Tapi saya sudah puasa tiga hari, Mbah. Sudah shalat tahajud, baca Al-Quran sampai khatam," rengek Agus. "Bapak bilang, kalau saya bisa mengangkat keris ini, tanah warisan di Karangampel tidak akan digusur developer."
Mbah Karso akhirnya menoleh, mata tuanya yang sayu menatap Agus dengan pandangan yang sulit diartikan. "Hati jernih bukan soal ritual, Nak. Tapi soal kejujuran pada diri sendiri."
Cerita tentang keris Cangkring sudah menjadi legenda di Indramayu. Konon, Ki Gede yang merupakan cikal bakal kota ini pernah berpesan bahwa keris tersebut hanya akan mengabdi pada pemimpin yang benar-benar ikhlas melayani rakyat. Bertahun-tahun berlalu, banyak yang mencoba—dari priyayi hingga kyai, dari pengusaha hingga politisi—namun tak satu pun yang berhasil mengangkatnya dari sarungnya.
"Ceritakan lagi, Mbah, tentang kakek saya," pinta Agus sambil duduk bersila di tikar pandan.
Mbah Karso menyesap tehnya pelan. Asap rokok jagung mengepul di sekitar wajahnya yang penuh kerutan. "Bapakmu yang mana, Gus? Yang dulu suka korupsi dana desa atau yang sekarang jadi makelar tanah?"
Agus terdiam. Pertanyaan itu seperti panah yang menusuk tepat di jantung. Sejak kecil, ia memang tahu bahwa keluarganya hidup dari hasil yang tidak selalu halal. Ayahnya, Pak Kades yang sudah dua periode memimpin desa, dikenal sebagai sosok yang pandai bermain kata-kata namun licin dalam bertindak.
"Bukan begitu, Mbah. Maksud saya, kakek buyut saya yang dulu katanya pernah hampir bisa mengangkat keris ini."
"Ah, Mas Sutrisno." Mata Mbah Karso berbinar sejenak. "Iya, dia memang hampir berhasil. Keris itu sampai bergetar ketika tangannya menyentuh sarungnya. Tapi kemudian ia mundur sendiri."
"Kenapa?"
"Karena dia sadar, niatnya tidak benar-benar tulus. Dia ingin mengangkat keris itu untuk membuktikan bahwa keluarganya adalah keturunan bangsawan. Padahal, keris Cangkring tidak perduli pada darah biru atau merah. Yang dilihatnya hanya ketulusan hati."
Agus menatap keris itu lagi. Entah mengapa, hari ini bilahnya tampak lebih redup dari biasanya. Atau mungkin itu hanya perasaannya saja.
"Mbah, boleh saya coba lagi?"
Mbah Karso mengangguk. "Silakan. Tapi ingat, keris itu tidak akan berbohong. Ia akan membaca hatimu seperti membaca kitab terbuka."
Agus bangkit dan melangkah mendekati meja. Tangannya bergetar ketika menyentuh sarung keris. Dingin. Sangat dingin. Ia memejamkan mata, mencoba mengosongkan pikirannya dari semua keinginan duniawi. Tapi justru di saat itulah bayangan-bayangan mulai bermunculan.
Ia melihat ayahnya yang sedang menghitung amplop berisi uang suap. Ia melihat ibunya yang pura-pura tidak tahu dari mana uang untuk membeli emas dan tanah. Ia melihat dirinya sendiri yang selama ini menikmati hidup dari hasil yang haram tanpa pernah bertanya atau memprotes.
"Saya tidak bisa, Mbah," bisik Agus, tangannya lepas dari sarung keris. "Saya tidak berhak."
Mbah Karso tersenyum, untuk pertama kalinya pagi itu. "Nah, itu baru awal dari hati yang jernih, Nak. Mengakui ketidaklayakan diri adalah langkah pertama menuju ketulusan."
"Tapi bagaimana dengan tanah warisan? Developer itu akan menggusur rumah-rumah penduduk untuk membangun mall. Banyak yang mengandalkan saya sebagai cucu Pak Kades."
"Apakah kamu benar-benar ingin melindungi mereka, atau hanya ingin tampil sebagai pahlawan?"
Pertanyaan itu kembali menikam. Agus terdiam lama, merenung. Ia ingat bagaimana warga desa menatapnya dengan penuh harap setiap kali ia lewat. Mereka percaya bahwa dialah yang akan menyelamatkan kampung halaman mereka. Tapi apakah itu benar-benar karena ia peduli, atau karena ia menikmati peran sebagai penyelamat?
"Mbah, saya bingung. Saya ingin melakukan yang benar, tapi saya tidak tahu mana yang benar."
Mbah Karso bangkit dan berjalan ke arah jendela. Matanya menatap jauh ke arah sawah yang mulai menguning. "Kamu tahu, Gus, selama tujuh puluh tahun saya menjaga keris ini, tidak ada yang pernah berhasil mengangkatnya. Bahkan saya sendiri tidak pernah bisa."
Agus terkejut. "Lho, Mbah? Bukannya Mbah adalah penjaga keris yang dipercaya oleh arwah Ki Gede?"
"Siapa bilang?" Mbah Karso tertawa pelan. "Saya hanya seorang tukang besi tua yang kebetulan menemukan keris ini di sungai ketika banjir besar tahun 1954. Semua cerita tentang Ki Gede dan keris yang hanya bisa diangkat oleh orang berhati jernih, itu saya karang sendiri."
Dunia Agus seakan berputar. "Tapi... tapi kenapa, Mbah?"
"Karena saya melihat bagaimana orang-orang di desa ini semakin serakah. Mereka berlomba-lomba menjadi kaya dengan cara apa pun. Saya pikir, mungkin dengan adanya keris ini, mereka akan berpikir dua kali sebelum berbuat curang. Mungkin mereka akan berusaha menjadi lebih baik."
"Dan berhasil?"
"Lihatlah dirimu, Gus. Tiga bulan yang lalu, apakah kamu pernah mempertanyakan sumber kekayaan keluargamu? Apakah kamu pernah merenung tentang arti ketulusan? Keris itu mungkin tidak benar-benar sakti, tapi ia telah membuat orang-orang introspeksi. Itu sudah cukup bagiku."
Agus terduduk lemas. Ia merasa tertipu, tapi anehnya tidak marah. Justru ia merasa lega. Selama ini ia terjebak dalam ilusi bahwa ada kekuatan magis yang bisa menyelesaikan masalahnya. Padahal, jawaban sebenarnya ada di dalam dirinya sendiri.
"Lantas, bagaimana dengan tanah warisan, Mbah?"
"Lawan dengan cara yang benar. Kumpulkan bukti-bukti. Laporkan ke pihak berwajib. Gerakkan masyarakat untuk melawan secara hukum. Bukan dengan mengandalkan keris palsu."
Agus mengangguk. Ia bangkit dan berjalan ke arah keris Cangkring. Kali ini, tangannya tidak bergetar ketika menyentuh sarungnya. Ia angkat perlahan. Keris itu terangkat dengan mudah, seolah tidak ada beban sama sekali.
"Mbah, saya bisa mengangkatnya!"
Mbah Karso tersenyum lebar. "Tentu saja. Keris itu hanya keris biasa. Yang membuatnya berat adalah beban hati nuranimu sendiri. Sekarang, setelah kamu jujur pada diri sendiri, tidak ada lagi yang membuatnya berat."
Agus menatap keris di tangannya. Bilahnya memantulkan cahaya pagi yang masuk dari jendela. Tiba-tiba ia paham. Keris ini memang tidak sakti. Tapi ia telah mengajarkan sesuatu yang jauh lebih berharga: bahwa keajaiban sejati datang dari ketulusan hati dan keberanian untuk menghadapi kenyataan.
"Mbah, saya akan kembalikan keris ini kepada Mbah."
"Tidak, Gus. Sekarang giliranmu yang menjaganya. Ceritakan kepada orang lain bahwa keris ini hanya bisa diangkat oleh orang yang berani jujur pada diri sendiri. Biarkan mereka belajar seperti kamu belajar."
Agus mengangguk. Ia memahami sekarang bahwa kadang-kadang, kebohongan kecil yang bertujuan baik bisa menjadi jembatan menuju kebenaran yang lebih besar. Keris Cangkring mungkin tidak pernah ada kaitannya dengan Ki Gede Indramayu, tapi ia telah menjadi guru yang mengajarkan tentang makna kejujuran dan ketulusan.
Ketika Agus melangkah keluar dari sanggar, ia sudah memutuskan untuk menghadapi ayahnya. Ia akan menolak semua keuntungan dari hasil korupsi. Ia akan memulai hidup baru dengan cara yang benar. Dan ia akan berjuang untuk tanah warisan itu dengan kekuatan hukum dan persatuan warga, bukan dengan mengandalkan keajaiban palsu.
Embun pagi sudah menguap. Matahari mulai meninggi. Dan di genggaman Agus, keris Cangkring berkilau—bukan karena kesaktian, tapi karena kejujuran yang akhirnya ditemukan oleh sang pemilik baru.
"Keris sejati bukanlah yang terbuat dari besi, tapi yang terbentuk dari keberanian untuk menghadapi cermin diri sendiri."
Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran. Yuk baca cerpen karya Arda Dinata di link ini: https://blog.ardadinata.com/search/label/Cerpen
***
Baca Juga
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.