#Cerpen : Senyap Tanjung

Baca Juga

"Warisan sejati bukan harta yang bisa habis, melainkan cinta dan tanggung jawab yang terus mengalir dari hati ke hati, dari generasi ke generasi." (Sumber foto: Arda Dinata).

Cerpen: Arda Dinata

INSPIRASI INDRAMAYU"Laut tidak pernah lupa pada mereka yang mencintainya dengan tulus, seperti bunga tanjung yang selalu kembali mekar di setiap musim badai."

Angin laut malam itu berbisik lebih keras dari biasanya, membawa aroma garam dan kenangan yang tak pernah surut. Sari berdiri di dermaga tua Pelabuhan Cimanuk, memeluk erat bungkusan kain batik lusuh yang telah menemaninya selama dua puluh tahun. Di dalam lipatan kain itu tersimpan wasiat terakhir Mbah Darjo, kakek buyutnya yang konon adalah nelayan paling disegani di Indramayu pada zamannya.

"Cucu, dengarkanlah baik-baik," bisik angin itu seolah membawa suara sang kakek buyut. "Bunga tanjung di pelabuhan ini bukan sekadar bunga biasa. Ia adalah penjaga rahasia laut yang harus dijaga turun-temurun."

Sari mengingat dengan jelas malam terakhir Mbah Darjo masih bernapas. Tubuh kurus lelaki tua itu gemetar menahan dingin, namun matanya masih berbinar ketika menyerahkan bungkusan wasiat. "Jangan biarkan pelabuhan ini mati, Ri. Bunga tanjung adalah jiwa kami, para nelayan. Tanpa mereka, laut akan murka dan tak lagi memberi rezeki."

Kini, dua dekade kemudian, prediksi Mbah Darjo terbukti. Pelabuhan Cimanuk yang dulu ramai dengan perahu-perahu nelayan, kini hanya menyisakan dermaga bobrok dan beberapa warung tutup permanen. Modernisasi telah menggeser tradisi. Kapal-kapal besar dari luar daerah mengambil alih mata pencaharian warga lokal. Yang tersisa hanyalah kenangan dan segelintir bunga tanjung yang masih setia mekar di sudut-sudut pelabuhan.

Sari membuka bungkusan wasiat dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat peta kuno yang digambar dengan tinta berbahan dasar kunyit, serta sehelai kertas berisi mantra-mantra dalam aksara Jawa kuno. Ada juga biji bunga tanjung yang telah mengering, namun masih memancarkan aroma harum yang menenangkan.

"Cucu yang baik," tulisan Mbah Darjo masih terbaca jelas meski kertas telah menguning. "Bunga tanjung bukan hanya simbol keindahan. Ia adalah perjanjian suci antara nenek moyang kita dengan penguasa laut. Setiap tahun, pada malam purnama ketiga setelah lebaran, benih ini harus ditanam di tujuh titik suci pelabuhan. Jika tradisi ini putus, maka berputuslah pula berkat laut untuk anak cucu kita."

Sari terdiam. Ia baru menyadari bahwa selama dua dekade, tradisi penanaman bunga tanjung telah terlupakan. Tidak heran jika tangkapan ikan semakin menipis, badai semakin sering datang, dan banyak nelayan yang memilih profesi lain.

Malam itu juga adalah malam purnama ketiga setelah lebaran. Sari merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan tradisi yang hampir punah. Ia berjalan menyusuri pelabuhan, mencari tujuh titik yang dimaksud dalam peta kakek buyutnya.

Titik pertama berada di ujung dermaga utama, tempat kapal-kapal besar biasa berlabuh. Sari menggali tanah dengan tangannya yang sudah kasar, menanam satu benih bunga tanjung sambil mengucapkan mantra yang tertulis dalam wasiat.

Titik kedua berada di dekat warung Mak Inah yang sudah tutup. Di sini, aroma ikan asin masih tercium samar. Sari menanam benih kedua dengan penuh khidmat.

Begitu seterusnya hingga titik ketujuh, yang terletak di sebuah makam keramat di ujung pelabuhan. Makam itu konon adalah tempat peristirahatan Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon yang pernah singgah di Indramayu.

Ketika benih terakhir tertanam, tiba-tiba angin laut bertiup kencang. Ombak besar menghantam dermaga, namun anehnya tidak terasa menakutkan. Justru sebaliknya, Sari merasakan kehangatan yang aneh, seolah laut sedang menyampaikan terima kasih.

Dari kejauhan, ia melihat sosok seorang lelaki tua berjalan menghampiri. Sari mengenali sosok itu—Mbah Darjo, kakek buyutnya yang telah meninggal dua puluh tahun lalu.

"Terima kasih, cucu," kata sosok itu dengan suara yang familiar namun seperti datang dari kejauhan. "Kau telah menyelamatkan pelabuhan ini."

"Mbah?" Sari hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.

"Dengarkan baik-baik, Ri. Yang kau tanam bukan hanya bunga tanjung biasa. Itu adalah reinkarnasi jiwa-jiwa nelayan yang telah pergi, termasuk aku. Kami kembali dalam wujud bunga untuk menjaga pelabuhan ini tetap hidup."

Sari terpaku. Ia baru menyadari makna sesungguhnya dari tradisi yang diwariskan kakek buyutnya. Bunga tanjung bukan sekadar ritual, melainkan bentuk cinta dan tanggung jawab yang tak pernah putus antara generasi nelayan Indramayu.

"Sekarang tugasmu belum selesai," lanjut Mbah Darjo. "Wariskan tradisi ini kepada anak cucumu kelak. Jangan biarkan mereka lupa pada akar dan identitasnya."

Sosok Mbah Darjo perlahan-lahan memudar bersama cahaya bulan. Yang tersisa hanyalah aroma harum bunga tanjung yang mulai bermekaran di tujuh titik yang telah ditanami Sari.

Keesokan harinya, keajaiban mulai terjadi. Para nelayan yang sudah lama tidak melaut karena hasil tangkapan yang buruk, tiba-tiba mendapat kabar bahwa ikan-ikan mulai berkumpul kembali di perairan sekitar pelabuhan. Cuaca yang biasanya tidak menentu, tiba-tiba menjadi bersahabat.

Berita tentang kebangkitan Pelabuhan Cimanuk menyebar dengan cepat. Para nelayan muda yang sudah hijrah ke kota mulai berdatangan, ingin mencoba peruntungan kembali di kampung halaman mereka.

Sari tidak menceritakan tentang wasiat Mbah Darjo kepada siapa pun. Ia hanya tersenyum ketika melihat bunga-bunga tanjung yang ditanamnya tumbuh subur dan indah. Setiap pagi, ia menyempatkan diri untuk merawat bunga-bunga itu, sambil berbisik, "Terima kasih, Mbah. Saya akan jaga pelabuhan ini."

Dari hari ke hari, Pelabuhan Cimanuk semakin hidup. Warung-warung mulai buka kembali, perahu-perahu nelayan kembali hilir mudik, dan yang paling menggembirakan, para pemuda setempat mulai bangga dengan profesi nelayan.

Sari pun mulai mengajari anak-anak di sekitar pelabuhan tentang sejarah dan makna bunga tanjung. Ia bercerita tentang leluhur mereka yang gigih menjaga laut, tentang tradisi yang hampir punah, dan tentang tanggung jawab mereka untuk melestarikannya.

"Ingat, anak-anak," kata Sari suatu sore sambil menunjuk bunga-bunga tanjung yang bermekaran indah. "Bunga ini bukan hanya bunga biasa. Ia adalah simbol cinta dan kesetiaan kita kepada laut yang telah memberi hidup kepada nenek moyang kita."

Kini, setiap malam purnama ketiga setelah lebaran, tradisi penanaman bunga tanjung dilakukan secara gotong royong oleh seluruh warga Pelabuhan Cimanuk. Mereka tidak tahu persis mengapa tradisi itu penting, namun mereka merasakan sendiri berkahnya.

Sari sering berdiri di dermaga pada malam-malam seperti itu, menatap bunga-bunga tanjung yang bermekaran di bawah sinar bulan. Ia tahu bahwa di antara kelopak-kelopak bunga itu, jiwa-jiwa leluhurnya sedang tersenyum bangga.

Pelabuhan tidak pernah mati, selama ada yang ingat dan mencintainya dengan tulus.

"Warisan sejati bukan harta yang bisa habis, melainkan cinta dan tanggung jawab yang terus mengalir dari hati ke hati, dari generasi ke generasi."


Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran.

***

Dapatkan Informasi tentang: Dunia INDRAMAYU (wisata, bisnis, budaya, kesehatan, motivasi, wanita, opini, keluarga, dan psikologi) hanya di: https://indramayu.miqraindonesia.com/

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Kelahiran Indramayu, sehari-hari sebagai Penulis Aneka Media Online dan Penulis Buku, serta berprofesi sebagai Sanitarian Ahli & Penanggung Jawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Sekarang Nginep Ning Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata
Telegram: ardadinata

Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Lebih baru Lebih lama

Entri yang Diunggulkan

#Cerpen : Jejak Air Leluhur



Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


Formulir Kontak

.