Baca Juga
"Dalam setiap tetes air, tersimpan memori tentang perjalanan panjang dari langit ke bumi, dari sumber ke muara. Begitu pula dengan jiwa manusia—selalu dalam perjalanan pulang ke rumah yang sejati." (Sumber foto: Arda Dinata).
Cerpen: Arda Dinata
INSPIRASI - Perjalanan spiritual seorang remaja Indramayu menemukan makna sakral air dalam tradisi Sunda Wiwitan melalui warisan leluhur yang terlupakan.
"Air tak pernah lupa pada tanah yang pernah dilaluinya, seperti jiwa tak pernah lupa pada rumah pertamanya."
Senja itu, air Sungai Cipanas mengalir seperti darah tua yang enggan membeku. Aku berdiri di tepi dermaga bambu yang sudah lapuk, menatap riak-riak kecil yang memantulkan cahaya jingga. Eyang Kartini, nenekku yang berusia sembilan puluh tahun, duduk bersila di atas tikar pandan, tangannya yang keriput meraba-raba tasbih dari biji saga.
"Sari, anak," panggilnya dengan suara serak yang masih menyimpan kehangatan, "air ini punya cerita yang lebih tua dari umur kakek buyutmu."
Aku menoleh. Mata Eyang yang sudah buram itu menatap sungai dengan kerinduan yang aneh. Sejak ayah meninggal tiga bulan lalu, hanya Eyang yang tersisa dari generasi tua di keluarga kami. Ibu sibuk dengan dagangannya di pasar, meninggalkan aku—Sari, gadis tujuh belas tahun yang tengah bingung mencari arti hidup—bersama nenek yang konon masih memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan.
"Cerita apa, Yang?" tanyaku sambil duduk di sampingnya.
Eyang tersenyum tipis, jemarinya masih menggerakkan tasbih. "Cerita tentang janji yang dibuat leluhurmu pada air ini, janji yang sampai sekarang belum terbayar."
Angin sore bertiup, membawa aroma anyir ikan dan wangi melati dari kebun tetangga. Aku tak pernah ambil pusing dengan cerita-cerita mistis Eyang. Bagiku, itu hanya dongeng orang tua yang terjebak masa lalu. Tapi malam itu, ada sesuatu dalam matanya yang membuatku ingin mendengar.
"Kakek buyutmu, Ki Marsudi, adalah seorang dukun air," Eyang mulai bercerita, suaranya melayang seperti kabut. "Tahun 1942, ketika Jepang datang, orang-orang di kampung ini kelaparan. Sawah kering, sumur surut. Ki Marsudi bermeditasi tujuh hari tujuh malam di tepi sungai ini, memohon pada Dewi Sri dan arwah leluhur agar menurunkan hujan."
Aku mendengar dengan setengah hati. Cerita serupa sudah sering kudengar dari mulut tetangga-tetangga tua.
"Pada malam ketujuh," Eyang melanjutkan, "Ki Marsudi bermimpi bertemu seorang wanita cantik berpakaian putih. Wanita itu berkata, 'Aku akan memberikan air yang kau minta, tapi dengan syarat: setiap generasi keturunanmu harus menjaga kesucian sungai ini. Jika dilanggar, kutukan akan menimpa keluargamu.'"
"Lalu?"
"Esok harinya, hujan turun deras selama tiga hari. Sawah kembali hijau, orang-orang selamat dari kelaparan. Tapi Ki Marsudi tahu, dia telah mengikat keluarganya pada sebuah perjanjian suci."
Eyang terdiam, matanya menatap jauh ke ujung sungai di mana lampu-lampu perahu nelayan mulai berkelip-kelip.
"Sekarang, Sari," katanya pelan, "kamu adalah generasi terakhir keluarga Ki Marsudi. Dan lihat sungai ini—dipenuhi sampah plastik, limbah pabrik, dan dosa-dosa manusia modern."
Aku mengikuti pandangannya. Memang benar, Sungai Cipanas sudah tak seperti yang diceritakan orang-orang tua. Airnya keruh, berbusa, dan berbau tidak sedap. Tapi bagaimana mungkin aku, seorang gadis SMA yang bahkan kesulitan mengerjakan PR matematika, bisa membersihkan sungai sebesar ini?
"Yang, zaman sudah berubah. Kita tak bisa melawan pabrik-pabrik besar itu."
Eyang menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Kamu tahu kenapa ayahmu meninggal dalam kecelakaan yang aneh itu?"
Jantungku berdegup kencang. Ayah meninggal karena terseret arus saat menyeberangi sungai dalam kondisi cuaca cerah. Bahkan perenang handal sepertinya tidak seharusnya tenggelam di sungai yang dangkal itu.
"Ayahmu sudah melupakan janjinya, Sari. Dia lebih memilih bekerja di pabrik yang mencemari sungai daripada menjaganya."
Malam itu, aku tak bisa tidur. Kata-kata Eyang bergema di kepalaku. Bagian rasionalku menolak percaya pada cerita tahayul, tapi ada sesuatu yang mengganjal di hati.
Esok harinya, aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan daerah mencari informasi tentang Ki Marsudi. Mengejutkan, aku menemukan beberapa catatan lama tentang "ritual air" yang pernah dilakukan seorang tokoh spiritual di kawasan Cipanas pada masa penjajahan Jepang. Nama Ki Marsudi memang tercatat sebagai sesepuh yang berperan dalam "keajaiban hujan" tahun 1942.
Sore itu, aku kembali ke tepi sungai. Eyang sudah menungguku dengan seikat bunga melati dan sesaji sederhana.
"Eyang, aku sudah membaca catatan tentang Ki Marsudi. Tapi aku masih tidak mengerti, apa yang sebenarnya harus kulakukan?"
Eyang tersenyum, kemudian memberiku sebuah buku tua yang sampulnya sudah lusuh. "Baca ini malam ini. Besok pagi, ikut Eyang ke pasuguhan."
Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak yang redup, aku membaca buku yang ternyata adalah catatan harian Ki Marsudi. Tulisan Jawa kuno yang sulit kupahami itu perlahan terbuka maknanya dengan bantuan kamus lama. Yang membuatku tercengang adalah halaman terakhir yang ditulis dalam huruf Latin:
"Barangsiapa dari keturunanku yang membaca catatan ini, ketahuilah: janji pada air bukan tentang membersihkan sungai secara fisik, melainkan tentang menjaga kesucian hati dan niat. Air adalah cermin jiwa. Jika hati bersih, air akan mengikuti. Jika hati kotor, air akan memberontak."
Keesokan paginya, Eyang membawaku ke sebuah mata air kecil yang tersembunyi di balik rumpun bambu, sekitar satu kilometer dari Sungai Cipanas. Air di sana jernih dan dingin, sangat berbeda dengan air sungai yang keruh.
"Ini adalah sumber asli Sungai Cipanas," kata Eyang. "Sebelum tercemar oleh keserakahan manusia."
Eyang kemudian mengajariku ritual sederhana: membasuh muka dengan air mata air sambil membaca doa dalam bahasa Sunda kuno, lalu bermeditasi dengan mata tertutup sambil mendengarkan suara gemericik air.
Saat aku menutup mata dan mendengarkan suara air, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh. Seperti ada yang berbisik dalam hatiku, suara halus yang mengajarkanku untuk merasakan kesatuan dengan alam. Aku merasakan bagaimana air mengalir dari mata air ini, melalui tanah, menyerap berbagai unsur, hingga bermuara ke sungai yang lebih besar.
"Sekarang kamu mengerti?" tanya Eyang ketika aku membuka mata.
Aku mengangguk perlahan. "Janji itu bukan tentang membersihkan sungai, tapi tentang membersihkan hati manusia yang mencemarinya."
"Tepat. Dan kamu, sebagai generasi terakhir, punya tugas untuk menyebarkan pemahaman ini."
Sejak hari itu, hidupku berubah. Aku mulai mengorganisir teman-teman sekolah untuk membersihkan sampah di tepi sungai setiap akhir pekan. Bukan karena percaya pada kutukan, tapi karena aku memahami bahwa air adalah kehidupan, dan melindunginya adalah kewajiban spiritual.
Lebih dari itu, aku mulai memahami makna Sunda Wiwitan—kembali pada kesucian awal, pada keharmonisan antara manusia dan alam. Bukan sebagai agama dalam pengertian formal, tapi sebagai cara hidup yang menghargai keseimbangan.
Eyang meninggal dua bulan kemudian dengan tenang. Pada malam terakhirnya, dia berkata, "Janji sudah terbayar, Sari. Sekarang tugas itu milikmu."
Hari ini, lima tahun kemudian, aku berdiri di tepi Sungai Cipanas yang airnya sudah mulai jernih. Bukan karena keajaiban, tapi karena kesadaran masyarakat yang perlahan tumbuh. Pabrik-pabrik mulai menggunakan sistem pengolahan limbah yang lebih baik, dan generasi muda mulai peduli pada lingkungan.
Aku memegang buku catatan Ki Marsudi yang kini menjadi harta karun keluarga. Di halaman terakhir, aku menambahkan tulisan baru:
"Air mengajarkanku bahwa hidup ini mengalir. Mengalir dari satu generasi ke generasi berikutnya, membawa berkah sekaligus tanggung jawab. Janji leluhur bukan kutukan, melainkan amanah untuk menjaga keseimbangan dunia."
"Dalam setiap tetes air, tersimpan memori tentang perjalanan panjang dari langit ke bumi, dari sumber ke muara. Begitu pula dengan jiwa manusia—selalu dalam perjalanan pulang ke rumah yang sejati."
Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran. Yuk baca cerpen karya Arda Dinata di link ini: https://blog.ardadinata.com/search/label/Cerpen
***
Baca Juga
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.